SEJARAH mencatat bahwa sarang burung walet telah dikonsumsi oleh orang-orang Cina sejak tahun 700. Sedangkan, perdagangan sarang burung walet dari Asia Tenggara ke Cina telah dilakukan sejak abab ke-14, pada saat Dinasti Ming berkuasa di Negeri Cina. Maraknya perdagangan sarang burung walet tersebut berkaitan erat dengan khasiat sarang burung walet dan status sosial orang-orang yang mengonsumsinya. Sarang burung walet dipercaya mempunyai khasiat bermacam-macam, termasuk dapat menyembuhkan beberapa penyakit pernafasan, menghalus-kan kulit, menambah kebugaran tubuh dan memperpanjang usia. Walaupun semua khasiat tersebut belum dapat dibuktikan secara ilmiah, kebiasaan pemanfaatan sarang walet sebagai bahan makanan terus berlanjut hingga kini dengan jumlah konsumen dari waktu ke waktu terus meningkat.
Menurut Kong et al. (1987), sarang walet yang dapat dikonsumsi oleh manusia berasal dari sarang yang dibuat dari air liur burung walet sarang putih (collocalia fuciphaga) dan burung walet sarang hitam (collocalia maxima) yang mengandung epidermal growth factor (egf). Sampai kini, harga sarang walet putih lebih mahal daripada sarang walet hitam. Pada bulan Januari 1999, misalnya, harga sarang walet yang dihasil-kan dari goa-goa alam di Desa Suwaran, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur untuk sarang walet putih seharga Rp 10 juta/kg dan walet sarang hitam seharga Rp 1,5 juta/kg (Solihin dkk., 1999: 61). Sedangkan, harga tertinggi sarang walet putih mencapai US$ 2,500/kg (Rp 25 juta/kg).
Tulisan ini mencoba memfokuskan perhatian pada potensi tambang “emas putih” yang dihasilkan oleh sarang walet dari goa-goa alam di Kabupaten Belu yang bisa menjadi primadona perekonomian masya-rakat setempat yang dapat mendatangkan pendapatan yang sangat prospektif di masa depan dan kemungkinan timbulnya potensi konflik dalam pengelolaan sarang burung walet nanti (Pos Kupang, Selasa, 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar